Rabu, 20 Agustus 2008

Hamasah Lidda'wah

Pada tahun 1924 M terjadilah revolusi rakayasa politik yang bertujuan untuk menghapuskan simbol terkahir kesatuan umat Islam, dan menghilangkan eksistensi kekhilafahan yang masih menjadi tumpuan harapan kaum muslimin di seluruh penjuru Timur dan Barat dunia. Revolusi ini memporak-porandakan Turki sebagai khalifah Islam.

Hasan Al Banna menyaksikan semua ini terjadi dalam kehidupan kaum muslimin dan menyaksikan pula bercokolnya penjajahan di bumi Mesir serta bermunculannya perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitir sumber daya alam dan manusianya. Ia dihimpit oleh keprihatinan terhadap kondisi yang mengenaskan ini, serta kepedihan yang luar biasa terhadap semua yang terjadi.

Umat Islam berada dalam krisis yang merobek-robek hati dan meluluhlantakan nurani. Khususnya di Mesir, kehidupan masyarakat sedang mengalami tarik-menarik hebat antara keislaman dengan invasi Barat yang sangat dahsyat, yang dilengkapi dengan berbagai senjata ampuh yang mematikan dan berbagai sarana propaganda.

Hasan Al Banna melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi semakin buruk, situasi kian memprihatinkan, kebobrokan kian merajalela dan penyakit bertambah parah. Beliau melihat pasukan dekadensi moral dan hedonisme semakin kuat dan energik sedang pasukan Islam kian hari kian loyo dan mengecil.

Meski usianya baru 19 tahun namun beliau sangat bersedih melihat kenyataan umat yang sedemikian parah, sehingga beliau melewati separuh ramadhan dalam kondisi yang sangat gelisah dan tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi umat.

Tetapi beliau tidak berputus asa dan menyerah, bahkan semangatnya kian menggebu untuk melakukan apa yang mesti dilakukan orang-orang sepertinya dan bertekad untuk bersikap proaktif daripada hanya bersikap reaktif.

Apa artinya kesedihan dan kegelisahan?Apakah keduanya mampu memberikan solusi bagi problematika ini? Apakah kesedihan dan kegelisahan bisa mengusir Inggris dari bumi Mesir? Apakah keduanya bisa mengembalikan khilafah yang telah hilang?

Sehebat apapun kegelisahan dan sedahsyat apapun kesedihan tidak mungkin mengembalikan keutamaan yang telah ternoda, sesungguhnya tekad yang kuat dan kemauan yang keras, kerja yang terus menerus dan gerakan yang tak pernah kenal lelah dan jemu yang mampu mengembalikan semuanya.

Pemuda ini berusaha menyadarkan para pemimpin untuk memikul tanggungjawab ini dan menyeru mereka untuk menahan arus jahat itu. Ia memulai usahanya dengan menjalin hubungan dengan berdialog dengan mereka.

Pertama, ia mengunjungi rumah syaikh Yusuf yang pada saat itu termasuk ulama besar Mesir. Beliau memaparkan kepadnaya banyak hal, utamanya tentang problematika umat. Tetapi Syaikh Yusuf hanya menampakkan kesedihan dan kegelisahannya, dan mengatakan: ”Apa yang bisa kita lakukan sementara kita berhadapan dengan kekuatan Inggris yang dahsyat yang senantiasa bersiaga untuk menumpas gerakan apapun. Al Azhar sendiri sudah berkali-kali berupaya membendung arus ini namun tidak mampu. Sudahlah bukankah ALLAH tidak akan membebani seseorang melainkan sebatas kemampuannya”.

Perkataan ini tentu saja tidak menarik bagi Hasan Al Banna muda, semangatnya seketika itu juga muncul. Bayang-bayang kegagalan yang menakutkan tergambar dalam benak Hasan Al Banna, jika setiap pemimpin memberikan jawaban seperti ini.

Kemudain beliau dengan tegas mengatakan: ”Wahai syaikh, saya berbeda pendapat dengan Anda dalam persoalan ini, saya meyakini bahwa persoalannya tidak semata-mata karena kelemahan, tapi karena sikap berpangku tangan, atau lari dari tanggung jawab. Apa yang Anda takuti? Pemerintah? Al Azhar? Penghidupan Anda sudah mencukupi. Duduklah di rumah dan bekerjalah untuk Islam."

"Sebenarnya umat ada di pihak Anda jika Anda memberi perhatian kepada mereka, karena mereka muslim. Saya mengenal mereka di kedai-kedai kopi, di masjid-masjid, dan di jalan-jalan, saya melihat nilai keimanan masih ada dalam dada mereka. Namun kelalaian kita telah menyebabkan mereka menjadi santapan kaum atheis dan liberalis. Makar mereka begitu berpengaruh memperdaya umat, karena kelengahan kita. Akan tetapi makar mereka tak akan berarti apa-apa jika kita peringatkan mereka."

"Wahai ustadz, jika Anda tidak ingin bekerja untuk ALLAH, bekerjalah saja untuk dunia dan roti yang ustadz makan. Ingatlah, jika Islam lenyap dari tengah-tengah umat ini, Al Azhar pun pasti lenyap dan punah pula para ulamanya, sehingga Anda tidak akan mendapatkan apa yang akan Anda makan maupun yang akan Anda dermakan. Perjuangkan kepentingan Anda saja jika Anda tidak mau memperjuangkan eksistensi Islam. Bekerjalah untuk dunia saja jika Anda tidak ingin bekerja untuk akhirat. Karena jika tidak demikian, dunia dan akhirat Anda akan lenyap secara bersama-sama.”

Kalimat itu mengalir dari lisan pemuda belia dengan derasnya, ia terlontar dari hati yang terbakar dan terluka. Sebagian ulama menentang perkataan Hasan Al Banna bahkan mereka menuduhnya telah berbuat lancang kepada ulama.

Ternyata ada seorang ulama hadirin bernama Ahmad Bek Kamil membelanya: ”Wahai ustadz, kebenaran ada pada pemuda ini, kita memang harus bangkit. Sampai kapan kita terus lengah seperti ini? Pemuda ini menginginkan bahwa kita bersatu untuk membela Islam, jika demikian adanya maka dukungan umat dan dana mereka akan datang dengan sendirinya. Sedangkan alasan-alasan yang tadi kalian kemukakan sebenarnya tidak berguna sama sekali.”

Akhirnya majelis terpecah menjadi dua kelompok, satu kelompok mendukung ulama yang menentang Hasan Al Banna, satu kelompok mendukung ulama mendukung pendapat Ahmat Bek Kamil. Adapun syaikh Yusul hanya diam, kemudian beliau berkata: ”Semoga Allah memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, agar dengan itu kita bisa beramal sesuai dengan ridho-Nya.”

Kemudian jamaah pergi ke rumah syaikh Muhammad Saad guna memenuhi undangannya. Hasan Al Banna terus membuntuti syaikh Yusuf, karena belum ada jawaban yang memuaskan yang beliau dapatkan. Ketika syaikh Yusuf mengambil hidangan, Hasan Al Banna mendekatinya, syaikh Yusuf berkata: ”Engkau bersama kami lagi?” ”Benar, persoalan Anda dan saya belum selesai.”

Lalu syaikh Yusuf memberikan hidangan tersebut kepada Hasan Al Banna, dan mengatakan: ”Ambillah ini! Dan marilah kita memikirkannya!” ”Subhanallah, wahai Tuan, persoalan ini sesungguhnya tidak butuh pemikiran, ia hanya butuh aksi secara nyata.” jawab Hasan Al Banna.

”Seandainya yang saya butuhkan sepotong hidangan, saya bisa membelinya sengan uang 1 Qirsy, lalu saya berdiam diri di rumah, dan tidak harus bersusah payah mengunjungi Anda. Wahai tuan, sesungguhnya Islam sedang diperangi dengan kerasnya, sementara tokohnya dan para pemimpin kaum muslimin hanya menghabiskan waktunya untuk tenggelam dalam kenikmatan diskusi. Apakah tuan mengira bahwa ALLAH tidak akan menghisab tuan atas apa yang tuan lakukan? Jika tuan mengetahui ada pemimpin Islam selain tuan, mohon tunjukkan kepada saya, agar saya dapat menemuinya. Mungkin saya akan mendapatkan sesuatu yang tidak saya dapatkan pada tuan."

Mendengar ucapan yang terlontar dengan bahasa yang berkobar-kobar dan mempertanyakan kontribusi keulamaannya, syaikh Yusuf pun menangis, sebagian hadirin pun menangis, lalu beliau berkata: ”Lalu apa yang harus saya lakukan?”

”Sederhana saja, ALLAH tidak akan membebani nseseorang melainkan sebatas kemampuannya. Tuan kumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki semangat keislaaman, agar mereka mau bekerja dan memikirkan persoalan keumatan.”

”Baiklah”

Kemudian terkumpullah banyak tokoh ulama besar, mereka bersatu padu untuk membela Islam dan bersepakat untuk menerbitkan majalah Islam bernama Al Fath. Majalah ini berkembang cukup pesat dan menjadi penyulut sinar hidayah bagi para pemuda Islam, kelompok ini terus bekerja hingga akhirnya terbentuklah Jam’iyah Asy-syubban Al-Muslimin (Asosiasi Pemuda Muslim).

Subhanallah betapa semangat yang membara menghasilkan prestasi luar biasa, sedangkan kelesuan yang memenjara takkan menghasilkan apa-apa. Umat menunggu kita ayyuhal ikhwah.. akankah kita terus berdiam diri, meratapi hari

Tidak ada komentar: